Gorong-Gorong
Minggu, 01 September 2019
Oleh: Naila Zulfa
Siang bolong seperti ini, aku harus mendengar Ibu mengomel lagi dan lagi. Bukan. Bukan karena harga cabai yang kian melambung. Bukan pula karena meteran listrik yang berisik tanda pulsa akan segera habis. Ibu mengomel seperti ini sudah hampir sepuluh bulan. Bayangkan, tiap pulang sekolah aku harus mendengar Ibu mengomel.
“Apa Ibu nggak capek tiap hari ngomel dan mengeluh seperti itu?” tanyaku lembut agar tidak membuat Ibu makin naik pitam.
“Kamu tahu apa, Le. Ibu lebih capek lihat orang-orang jatuh dari motor di depan rumah kita. Hampir tiap hari,” gerutu Ibu sembari menyetrika baju koko Bapak.
“Aku juga capek lho, denger Ibu ngomel terus tiap hari.” Suaraku sengaja kupelankan, takut terdengar Ibu. Tak ada respon. Mungkin Ibu tidak mendengar keluhanku barusan. Bagus lah.
“Ibu itu heran, masa iya nggak ada yang protes sama Pak Kades. Terus Kecamatan juga kok nggak curiga ada proyek mangkrak lama begini. Aneh pancen aneh,” keluh Ibu sekali lagi.
“Kenapa nggak Ibu saja yang protes ke Balai Desa?”
“Percuma, paling ya nggak ditanggapi,” seru Ibu ketus.
“Emangnya sudah pernah nyoba, Bu?”
“Ya belum. Kabarnya kan gitu.” Ibu malu-malu menyampaikan. “Lagian harusnya kalian yang muda-muda itu bergerak. Kayak RT sebelah itu, karena pemudanya pinter ngomong jadi gorong-gorongnya langsung digarap,” lanjut Ibu dengan bersungut.
“Aku boleh bersuara? Kalau Bapak sama Ibu mengizinkan, aku berani lho, Bu, protes ke Balai Desa atau melapor ke Kecamatan,” tantangku ke Ibu. Mendengarnya, Ibu justru mengkeret.
“Wis, jangan aneh-aneh, kita ini cuma wong cilik.”
“Duh, ya sudah lah terserah Ibu saja. Tapi ya mbok jangan ngomel dan ngeluh terus tiap hari.”
“Sudah-sudah. Lanjutkan saja makanmu. Makan aja lama!” omel ibu, lagi.
Begitulah ibuku. Hanya berani mengeluh di belakang. Seperti ibu-ibu lain di kampung ini. Kampung yang katanya agamis, tapi pak kadesnya nggak jelas. Dana Desa terus bergulir, namun program-programnya banyak yang tidak selesai. Bahkan ada slentingan, upah aparatur desa saja sudah enam bulan tidak ditunaikan. Benar atau tidaknya tak ada yang tahu pasti. Karena tak ada satu pun dari mereka yang berani protes secara resmi. Mereka takut dengan Pak Kades. Katanya Mbah di belakang Pak Kades sangat mumpuni. Entahlah.
Itulah sebabnya Ibu juga melarang aku dan Bapak bersuara di depan. Ibu takut kami tidak kuat menangkal serangan dari Pak Kades. Padahal jika diijinkan Ibu, aku sudah bisa menggalang suara di tingkat pemuda. Toh, sebenarnya banyak sekali yang tidak puas dengan pemerintahan Kades ini.
Akhir tahun lalu, aku pernah sekali menyampaikan dugaan penyelewengan ke tingkat kabupaten via medsos. Aku ceritakan hal ini ke Ibu. Ibu marah dan uring-uringan. Padahal sudah aku jelaskan bahwa aku hanya menyampaikannya melalui messanger, bukan di wall yang bisa dibaca banyak orang. Ibu tetap marah dan menasihatiku untuk banyak berzikir dan salat malam. Menangkal kemungkinan terburuk. Aku hanya mengiyakannya, toh memang nasihat yang baik.
Dua minggu setelahnya, malam-malam Ibu terbangun. Ia mengingat ada jemuran di luar yang belum diambil. Takut dicuri orang, Ibu keluar untuk mengangkatnya. Ndilalah Ibu melihat Pak Kades yang khusyuk menabur bunga di jembatan dekat rumah. Ibu segera berlari masuk agar Pak Kades tak melihatnya. Pikiran Ibu semakin kalut dan takut. Nasihat Ibu semakin gencar untuk tidak macam-macam mengkritisi Pak Kades sebelum aku mumpuni ilmu kebatinan.
Minggu berikutnya aku jatuh sakit, harus dirawat di puskesmas kecamatan selama sepuluh hari gara-gara nyamuk demam berdarah. Tahu apa pikiran Ibu? Ini pasti ulah Pak Kades. Berkali-kali aku sampaikan untuk tidak berpikir demikian, karena memang teman sekelasku juga ada yang terserang DB. Mungkin aku tertular darinya. Lagi pula aku takut Ibu jadi syirik karenanya. Aku meminta Ibu untuk beristigfar. Ibu malah ngomel dan memarahiku. Ya, sudahlah. Semenjak itu aku tidak berani mengkritisi Pak Kades lagi. Bukan karena takut padanya, tapi takut pada ibuku sendiri.
***
Pagi hari, saat aku sedang kebingungan mencari kunci motor, terdengar suara gedebruk di depan rumah. Lagi. Motor jatuh terpeleset tepat di depan rumah kami. Ibu dan Bapak segera berlari ke depan. Menolong si pengendara yang ternyata salah satu sesepuh desa. Untungnya beliau tidak apa-apa, hanya lecet kecil. Bapak pun menuntun motor dan menepikannya, Ibu membuatkan teh hangat.
Ibu memang kerap menjadi saksi hidup kecelakaan di depan rumah, semenjak ada proyek gorong-gorong yang tak kunjung diselesaikan. Rumah kami tepat di tikungan jalan. Dulu, jalan di gang kami aman-aman saja. Tapi karena jalan yang hanya sekitar tiga meter dibuat gorong-gorong di kanan kirinya masing-masing setengah meter, jalan pun menjadi sangat sempit. Ditambah lagi sisa tanah galian yang masih bertumpuk di beberapa sisi jalan, jika hujan datang, maka bisa dipastikan jalanan licin dan berbahaya. Terhitung sepuluh bulan sejak dibuat galian, sudah lebih dari dua puluh orang terjatuh. Memang tidak ada yang fatal, tapi tetap saja minimal mereka pijat dan memebeli obat pereda nyeri. Apakah Pak Kades peduli? Tentu tidak. Hahaha.
Ibu yang sebelumnya tidak pernah begitu peduli dengan program-program desa, sekarang menjadi pemerhati utama dan komentator ulung, meski hanya di dalam rumah. Imbasnya telingaku harus siap menerima semua komentar, keluhan dan omelan ibu. Bapak sesekali menjadi penasihat agar Ibu tak ambil pusing urusan desa. Sudah ada banyak orang yang lebih pintar katanya. Nyatanya sampai sekarang sepertinya tak ada seorang pun yang berani melapor.
Waktu bergerak dan aku tak pernah lagi memikirkan urusan gorong-gorong, apalagi urusan desa secara keseluruhan. Aku sibuk mempersiapkan diri ujian nasional dan ujian masuk perguruan tinggi negeri dengan beasiswa. Sebentar lagi statusku berubah menjadi mahasiswa. Tapi di saat masa tenangku ini, ada kabar buruk, eh kabar baik, yang kuterima.
Info ini kudengar langsung dari Ibu saat libur di hari minggu. Sepulang dari warung Ibu lancar sekali bercerita. Ternyata warung di desa memang punya dwi fungsi. Selain menjual berbagai macam barang, juga menjual info atau gosip.
“Pak, Pak, katanya Pak Kades ditangkap polisi tadi malam di rumahnya. Korupsi dana desa sudah terbongkar.” Bapak yang mendengarnya menegur Ibu untuk tidak menyebarkan gosip sembarangan.
Karena penasaran, aku segera mencari info di grup WhatsApp pemuda desa. Dan benar ternyata, ada berita yang menjadi trending topik di grup semalam. Bahkan beritanya sudah tayang di media lokal, 'Diduga Korupsi Dana Desa, Seorang Kades Ditangkap di Rumahnya'. Foto Pak Kades terpampang dengan muka pucat. Aku bingung harus senang atau sedih. Senang karena tanpa kami ketahui ada yang mungkin melapor ke pihak yang berwenang. Sedih karena mau tak mau citra desaku yang agamis akan ternodai oleh ulah Pak Kades. Apapun itu, setidaknya hidupku setelah ini akan jauh lebih nyaman sepertinya, Ibu tak akan mengomel dan mengeluh lagi. Hore!
***
Naila Zulfa, ibu rumah tangga sekaligus buruh pabrik. Domisili di Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah. Anggota Odop Batch 6.
0 apresiasi