Wanita Setengah Berpeci
Sabtu, 01 Februari 2020
Oleh: Selvi Febriani
Rinai hujan sehabis petang ramai-ramai bertamu lewat celah yang menganga, gemuruh guntur kian menggelegar, petir belingsatan, suara-suara mesin modernisasi bertabrakan dengan teriak pedagang kaki lima yang memaksakan diri untuk terus berjualan.
Ruang petak yang hanya berukuran empat kali enam ikut menggigil. Jendela-jendela buka tutup mengaduh meneriakan keresahan. Dinding rumah yang rapuh tak lagi kukuh menahan terpaan angin. Sengaja dibiarkan menangis. Uniknya, rumah tua ini berdiri tanpa pintu yang tampak menjereng. Sang pemilik dengan rela hati memberikan pintu-pintu rumahnya kepada pemulung di sekitaran. Untuk melindungi anak istri, begitu ucapnya ketika mengulurkan tangan.
Balutan gaun merah marun membalut tubuh kekarnya. Menutupi bulu-bulu kaki sang perjaka. Bibirnya busur panah yang sempurna terbentang berbalur lipstik merah marak menggoda. Garis hidung dengan lengkungan tajam senantiasa membuat iri para kaum adam dan hawa. Jika wajahnya bertabur make up ia begitu cantik dan menawan, meskipun bola mata dan rahang tegasnya tidak bisa mengelabui tetap saja secara keseluruhan ia memiliki ketampanan sekaligus kecantikan yang luar biasa.
Qanita Anindia. Seorang waria berusia dua puluh delapan tahun yang saat ini rajin menggeluti profesi sebagai penghibur di group dangdut Mami Tiwi. Meskipun bukan pekerja tetap, ia selalu menjalankan profesinya dengan girang hati. Sebagian waktu yang tersisa ia gunakan untuk nongkrong di jembatan cinta, sebatas iseng menganggu laki-laki yang berkeliaran. Namun, kehidupannya mulai berubah ketika ia menemukan gadis jalanan tengah terkapar tak berdaya berlumuran darah tepat di pojok jembatan. Untung saja gadis berwajah Ambon itu masih menyisakan separuh napasnya. Kali ini Qanita lebih sering disibukkan untuk mengurusi gadis yang ia beri nama Kenna. Gadis tomboi bermahkota rambut cepak itu memiliki kisah yang kelam. Acap kali Qanita menjumpai Kenna tengah dikeroyok oleh sekumpulan anak punk. Entah apa masalahnya ia sendiri tak mau ambil resiko.
Kecelakaan yang dialami Kenna membuatnya hilang ingatan dan menyebabkan kedua kakinya lumpuh permanen. Sudah tiga bulan Kenna hidup bersama waria itu, ia sendiri telah menganggap Kenna sebagai anak kandungnya .
Penampilan Kenna yang tomboi disulapnya menjadi gadis anggun dengan balutan hijab putih polos melekat di kepala. Tindikan yang mentereng di pelipis mata, di telinga, serta di dagunya kini tak lagi terpajang.
“Kenapa harus pake ini?” tanya Kenna sambil memerhatikan penampilan barunya di cermin.
“Hijab ini akan melindungimu, Sayang,” dengan nadanya yang khas ia mengelus wajah gadis Ambon itu.
Kenna terpesona. Sentuhan dari tangan kukuh Qanita membuatnya hilang akal. Sontak saja bibir tipisnya melontarkan kalimat yang membuat Qanita mati berdiri.
“Kayaknya gua cinta sama lu!”
Cepat-cepat Qanita menyingkirkan tangannya dari wajah Kenna.
“Te-te-tentu saja, aku kan ibumu!” jawab Qanita tergugu.
“Ah, ya.” Kenna mengerutkan dahi.
Ada pancaran lain yang nampak tersembunyi di balik mata hitam pekat Kenna. Ia menatap dengan tafsiran lain. Lapat-lapat ia menelisik garis wajah yang dibaluti make up tebal. Kenna sendiri sudah tahu kalau yang di hadapannya saat ini bukanlah wanita tulen, melainkan seorang laki-laki dewasa yang menjadi malaikat ketika ia hampir menuntaskan hidupnya di dunia. Ia begitu terpukau ketika laki-laki yang saat ini menganggap dirinya sebagai seorang ibu itu dengan gagah berlari memboyongnya ke rumah sakit, jelas tanpa memperlihatkan sisi kemayunya sekalipun make up tebal menghiasi wajahnya.
“Bukan itu maksud gua.” Suaranya terdengar berbisik.
Rupanya gadis tiga belas tahun itu menaruh hati kepada seorang waria yang saat ini tengah menyuapinya. Kehidupan jalanan membuatnya lebih dewasa jauh di atas usianya. Berkali-kali ia memutar akal sehat agar tidak menyemai rasa yang mungkin saja menyebabkan keretakkan. Untung saja, Qanita tidak mendengar, suara Kenna kalah telak oleh gemuruh hujan.
Brukkk! Atap yang sedari tadi menahan diri agar tidak tumbang akhirnya menyerah.
“Apa itu?” teriak Qanita.
“Tenang saja, itu hanya atap yang roboh,” jawab Kenna dengan santai.
“Oh, syukurlah, bukan dindingnya yang roboh. Ayo teruskan makanmu.” Ia tersenyum.
“Gua bisa benerin genteng.”
Qanita menatap tak percaya.
“Iya. Gua serius.”
Qanita tertawa kecil.
“Lu ngeremehin gua?”
“Haha …. Ah, sudahlah tidak apa-apa itu hanya atap, toh kita masih bisa berlindung, kan, sebelah sini.”
Kenna menggeleng.
“Baiklah, terserah lu. Gua ngikut aja,” jawabnya.
“Em … em … em … kau ini. Ibu kan sudah bilang, panggil aku 'Ibu', oke?” Matanya berkedip-kedip sambil melontarkan senyum bebek andalannya.
Kenna tampak menahan tawa. “Gua masih ragu.”
“Haih … baiklah, apa yang kau inginkan?”
“Seorang ibu biasanya pandai memasak dan merapikan rumah.” Kenna memutar bola mata menelisik setiap ruangan. Ember-ember yang digunakan untuk mewadahi tetesan air hujan yang semakin berjatuhan membanjiri rumah petak mereka, berdesakan dengan baju-baju kotor yang tergeletak sembarang.
“Ah, begitu rupanya. Baiklah, akan aku buktikan kepadamu, Gadis Licik.” Dengan genit ia mencubit hidung Kenna.
“Masih inget kapan terakhir kali nyentuh sapu?”
“Ahaha. Sudahlah, kau membuatku malu.”
Meskipun begitu, tak pernah sekali pun Qanita tersinggung dengan semua ucapan yang dilontarkan oleh Kenna. Ia tahu persis latar belakang Kenna, selalu terpendar kesungguhan tulus menyayangi Kenna. Ia bahkan akan menyekolahkan Kenna, namun seperti yang dilihat Kenna sangat keras kepala dan rasa minder selalu menghantui setiap langkahnya sehingga membuat Qanita semakin iba.
Qanita berdiri tegak, berjalan kemayu membereskan baju-baju yang berserakan kemudian membetulkan atap. Sementara Kenna hanya tertawa kecil menyaksikan tingkah Qanita yang bersusah payah membereskan rumah. Jauh di hatinya ia ingin membantu menyelesaikan semua pekerjaan rumah, namun ketika kaki tak lagi berkompromi, ia pun hanya berdiam diri.
Kenna mencoba bangkit dari tempat tidur. Dengan perlahan, kedua tangannya menurunkan kaki yang tak lagi berfungsi. Dengan hati-hati ia meraih kursi roda. Air mata Kenna kembali berjatuhan tatkala cermin tua memperlihatkan fisiknya yang lemah. Ia semakin terpukul ketika memikirkan nasib pujaannya yang selalu kerepotan mengurusi dan menjaga dirinya selama ini. Baginya, Qanita bukanlah seorang hama bagi negara apalagi dinobatkan sebagai sampah masyarakat. Melainkan seorang lelaki yang begitu berarti bagi hidupnya. Tak waras memang jika orang memandang kisah mereka. Satu hal yang Kenna inginkan, yaitu ia ingin mengembalikan Qanita sesuai kodratnya sebagai laki-laki sejati, bukan wanita pria yang selama ini menjadi pilihannya.
Ketika Kenna mulai merayap berusaha menempatkan diri di kursi roda, ia terjatuh dan tak sengaja tubuh lemahnya menyenggol sebuah gelas berisi air.
“Ah! Sial!” Bola matanya terbelalak, ia menyadari sesuatu. “Bodoh!” ia sedikit berbisik menyumpahi. Air tumpahan itu mengenai buku harian Qanita.
Kenna berniat untuk mengelap bagian buku yang terkena tumpahan air, alih-alih memperbaiki ia malah semakin merusak buku harian Qanita. Dengan tidak sengaja halaman pertama buku harian itu sobek karena kecerobohan Kenna. Sekilas terbersit dalam benaknya untuk membaca setiap lembar buku harian itu, namun tiba-tiba Kenna mengurungkan niatnya.
“Lama-lama kepo juga nih gua. Isinya apaan, ya?” Ia pun memutuskan untuk membuka setiap lembar yang masih utuh. Ia membaca dengan terbata-bata. Maklum saja ia hanya diajarkan baca tulis oleh orang-orang yang menaruh rasa iba. Itu pun jarang sekali ia mendapatkan pendidikan yang layak seperti anak seusianya.
“Qo-m-a-a ... duh apaan sih ini?”
Tidak lama setelah itu, Qanita berlari menghampiri Kenna. Tampaknya ia sudah berganti pakaian, tubuh kekarnya dibalut celana jeans yang ketat serta kaos oblong berwarna abu tua jelas, tanpa make up tebalnya. Ah, lihatlah rambut palsu sebahu masih menjadi mahkota. Ia terkejut melihat keadaan Kenna. Rupanya ia tidak begitu memedulikan buku harian. Dia lebih dulu memboyong tubuh gadis jalanan itu. Cepat-cepat tangan kanan Kenna menyembunyikan sebelum Qanita menyadari tingkah kakunya malam ini.
“Ya ampun, Sayang, kenapa kamu bisa jatuh begini?” Qanita tampak khawatir.
“Bosen!” jawab Kenna singkat.
“Hm … kamu mau ke mana?”
“Keluar.” Raut wajah Kenna terlihat Kesal.
“Ngapain?”
“Cari udara segar.”
“Ini sudah hampir malam, Kenna. Tidak baik anak gadis berkeliaran di luar rumah.”
Kali ini perkataannya terdengar bijak tanpa intonasi yang dibuat-buat.
“Lagian di luar masih gerimis, Sayang. Di sini juga udah lebih dari sejuk, kok.”
Kenna tetap bersikukuh ingin ke luar rumah. Bibirnya mengerucut sebal. Qanita tidak tega melihat raut wajah Kenna dan akhirnya ia pun menuruti perkataan Kenna. Ia memangku Kenna dan kembali menempatkannya di kursi roda. Kursi roda yang baru saja ia gunakan merupakan peninggalan dari ibu Qanita. Selama kurang lebih tujuh tahun, kaki ibu Qanita mengalami lumpuh total, hingga akhirnya tutup usia.
Belum sempat mereka ke luar rumah tiba-tiba saja ….
Bruggg!
Dinding kamar yang sudah bertahun-tahun retak, ambruk. Nyaris saja mengenai mereka yang tengah melongo menyaksikan dinding yang tak lagi melindungi terpaan angin dan hujan. Tampaklah orang-orang yang berlalu-lalang secara bergantian, kendaraan berseliweran tanpa henti, kerlip bintang di ujung timur nampak kentara, angin malam membelai wajah mereka yang sedari tadi bersitatap tak percaya.
“Apa itu?” tanya Qanita.
“Oh itu, hanya dinding yang roboh.”
“Ah, syukurlah bukan seluruh bangunannya yang roboh.”
Tampak Kenna menahan tawa.
“Hahaha .…” Tawa keduanya pun akhirnya buncah mengalahkan gemuruh hujan yang sedari tadi menantang kekokohan rumah petak mereka.
“Masihkah kita memerlukan udara segar, Kenna?”
“Ah tidak, ini sudah lebih dari cukup.”
Keduanya tersenyum melukiskan raut wajah tanpa beban.
“Baiklah, malam ini kita tidur di ruang tamu saja,” Qanita menyarankan.
“Yakin?” tanya Kenna memastikan.
“Kau takut mati rupanya? Kupikir kau hanyalah gadis angkuh yang sewaktu-waktu dapat menentang Tuhan,” goda Qanita.
“Ah, itu.” Kenna membenarkan jilbabnya. Ia terdiam sejenak. “Gua mau pake ini lebih lama lagi,” sambil mengelus-elus jilbab biru mudanya.
“Kau membuatku terharu, Kenna.” Ia terisak.
Qanita pun menghamparkan karpet merah untuk dijadikan tempat tidur. Maklum saja Qanita hanya mempunyai satu kasur yang beberapa menit lalu hancur tertimpa reruntuhan. Ia kembali memboyong Kenna, membaringkannya dan melepaskan sandal jepit pemberian Qanita. Sedangkan Qanita terus terjaga. Ia khawatir jika sewaktu-waktu reruntuhan lain akan menimpa tubuh kurus anak angkatnya itu.
“Tidurlah di sampingku, Qanita,” pinta Kenna.
“Ah, tidak mengapa, kau tidurlah dulu. Aku akan berkeliling untuk memeriksa rumah,” sambil beranjak.
“Bukankah kau ibuku? Tidurlah di sampingku.” Kenna kembali menegaskan permintaannya.
Qanita menghentikan langkah menghela napas panjang. Kemudian kembali terduduk.
“Kenna, bagaimana pun aku bukanlah ibu kandungmu dan aku … a-aku … adalah seorang laki-laki.” Nada bicaranya berat, ia pun terisak.
Seketika semua terasa canggung. Kenna terdiam.
“Besok aku akan mengirimu ke asrama.”
“Asrama?” Kenna terkejut bukan main.
“Iya, asrama. Kau bisa bersekolah sambil mondok di sana. Sebenarnya jauh-jauh hari aku sudah memikirkan hal ini, namun aku masih saja egois karena aku tak ingin berpisah denganmu. Bagiku kau memang benar-benar anaku, Kenna.” Qanita terdiam sejenak.
“Aku harap kau tidak akan berakhir sepertiku yang sekarang ini. Kau tahu, aku adalah anak seorang pemuka agama, namun aku melakukan kesalahan besar waktu itu. Ketika aku masih di bangku SMA kelas sepuluh. Aku merasa sangat jahat dan keji ketika menjadi seorang laki-laki. Aku menghamili sahabat dekatku, Kenna.” Tangisannya kian buncah. Ia terdiam sejenak menghela napas panjang kemudian melanjutkan kalimat.
“Sejak saat itu aku benci dengan diriku sendiri. Kebencianku membuat cara pandangku ikut berubah, penampilanku, pribadiku bahkan hasratku berbelok, Kenna. Aku memilih kabur dari rumah dan bertemu dengan Mami Tiwi. Ia menjadikanku seperti yang sekarang ini. Ia pun tidak memaksa, ini murni keinginanku. Aku sudah terlanjur, Kenna. Aku telah menantang kodrat Tuhan. Aku memang keliru memaknai sesuatu. Hingga aku bertemu denganmu, perlahan aku mulai menemukan secercah harap dan menyadarkanku agar memohon ampunan Tuhan.”
“Maaf,” lirih Kenna dengan mata berkaca-kaca.
“Ah, sudahlah, itu hanya masa lalu. Besok akan kuantar kau ke Yayasan Siroju Taufik. Pesantren tahfidz impianku dulu.” Ia mengembangkan senyum.
Kenna mengangguk.
“Sudahlah, ayo tidur. Sudah malam.”
Kenna kembali mengangguk pelan hingga ia terlelap.
***
Keesokan harinya.
Tangis haru mulai bersahutan di antara keduanya. Pagi ini, Qanita menepati janji. Ia akan mengantarkan Kenna ke pesantren yang jaraknya sangat jauh, tepatnya di luar kabupaten. Diamati lamat-lamat bangunan yang hampir roboh itu dengan berkaca-kaca.
Kenna kembali dibalut gamis serta jilbab putih yang membuatnya terlihat anggun. Tak banyak barang yang mereka bawa, hanya satu tas berukuran sedang, ditenteng oleh Qanita. Kali ini Qanita tidak lagi menggunakan rambut palsu sebahu, ia menutupi rambutnya dengan hijab lebar menutup dada. Rupanya Qanita masih belum bisa mengontrol diri, sempat terpikirkan untuk memakai koko muslim, namun apa daya, ia masih tejerat kenangan lama sehingga enggan mengenakannya.
Sepanjang perjalanan, keduanya tak banyak bicara, lebih memilih istirahat melepas penat. Penumpang lain pun rupanya tidak memedulikan mereka. Semua sibuk dengan urusan pribadi.
Tak terasa, mereka sudah menempuh perjalanan selama kurang lebih tujuh jam. Tibalah mereka di depan gerbang yayasan. Mata memang tak pandai menyembunyikan kesedihan. Langkah Qanita terasa berat, begitu pun dengan Kenna. Sejenak ia menghentikan langkahnya, memegang kuat-kuat kursi roda.
“Kenna, kau harus bisa. Oke?” ucap Qanita menyemangati.
“Tenang saja. Kurang dari tiga tahun, gua jamin udah hapal Qur’an. Percayalah,” celoteh Kenna begitu percaya diri.
“Ah, baiklah. Tak maukah kau memanggilku 'ibu'?”
“Entahlah.” Kenna mengangkat kedua alisnya.
“Ah, sudahlah, itu tidak penting. Aku sudah menghubungi Ustazah Masyita untuk menjemputmu. Kau sudah ditunggu katanya. Ayo masuk.”
“Gak mau masuk?” tanya Kenna.
“Ah, tidak, tidak ... jenggotku mulai tumbuh.”
“Hahaha, repot!” Kenna melepas tawa.
“Tiga tahun lagi aku akan menjemputmu.”
Kenna hanya tersenyum tawar. Napasnya sedikit tertahan. Ia mulai mengumpulkan keberanian. Kemudian bibir tipisnya melontarkan kalimat yang tidak terduga.
“Aku mencintaimu sebagai lelakiku, Qomar Anandito.”
Qanita terkejut bukan main mendengar nama lamanya disebut oleh gadis di hadapannya itu. Seketika air matanya kembali buncah.
“Jemput aku dengan penampilan berpecimu, ya!” Kenna memacu laju kursi rodanya dengan bahagia.
Qanita atau Qomar tersenyum lepas sambil melambaikan tangan. Ia tertunduk, kembali menghela napas panjang memerhatikan penampilan.
“Ah, aku rindu menjadi Qomar Anandito. Ya Allah, berikanlah aku kesempatan untuk mengembalikan fitrahku.” Ia semakin terisak.
***
Selvi Febriani adalah kelahiran Sukabumi, 26 Februari 1999 yang sedang berusaha menggeluti dunia kepenulisan di komunitas One Day One Post (ODOP) bacth 7. Peserta kelas fiksi ODOP ini memiliki harapan besar agar tulisannya dimuat di media atau bahkan dibukukan. Selain anggota ODOP, ia aktif di Kelas Menulis Perpustakaan (KMP) bacth 2 di kota kelahirannya, Sukabumi. Ia pun tercatat sebagai mahasiswi di Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al-Masthuriyah Sukabumi dengan mengambil prodi Pendidikan Agama Islam (PAI). Pembaca dapat bersilaturahmi dengan penulis melalui beberapa akun berikut; Instagram: slvfebrn, facebook: slv febrn dan blog pribadi: slepifebrn.blogspot.com atau e-mail: slvfebrn@gmail.com.
0 apresiasi