Parade Keberangkatan Sirius ke Surga
Jumat, 15 Mei 2020
Oleh: Erlina Anriani Siahaan
“Tangkap mereka!”
Ya Tuhan … suara-suara yang selalu menemani malam terikku kini berkumandang kian gencar seirama dengan langkah kaki lemahku yang terus mengikutimu.
“Lihat ke depan, Sayang! Jangan pedulikan suara-suara itu. Ayo cepat ….” Kau menarikku dengan penuh tuntunan.
“Apa mereka akan menemukan peti Ayah, Bu?” Aku bertanya sembari berusaha menyelaraskan langkahku.
“Tidak akan. Tidak akan ada yang menemukan jika kamu tidak ke sana lagi. Selama kalungmu masih berliontin lekat di lehermu, Sayang.”
Tiba-tiba suara hiruk pikuk dari belakang menghilang seiring kita memasuki lorong-lorong bawah tanah yang gelap ini.
“Mereka di sini.” Kau berbisik sambil meletakkan telunjukmu tepat di depan bibirmu. Kau menuntunku menuju koridor lain ke arah barat. Siluet-siluet sandikala menembus lubang-lubang lorong besi bawah tanah. Hari masih cerah. Tetapi bukan untuk situasi kita ini. Aku tidak tahu mengapa Ayah harus mati demi sebuah penemuan penawar virus. Sekali kau berkata, perkara ini jauh lebih rumit dari urusan orang dewasa. Urusan Ayah dan Ibu yang suka mengunci kamar kala malam hari tiba. Ini urusan sebuah bangsa dalam beberapa dekade ke depan. Sekali kamu menerangkan. Tetap saja kamu merasa aku belum paham kala itu. Namun, aku paham, Ibu.
Ayah tidak mau menjual penemuan itu ke negara tetangga kita. Ayah menolak untuk menjual bangsanya. Ini perkara cinta tanah air, bukan? Aku paham. Pun saat Ibu menciumku sembari memberi isyarat diam lalu mendorongku lebih dalam ke dalam lorong sempit dan mereka menangkap Ibu. Membawa Ibu dan aku tinggal sendirian. Tetapi tidak begitu, yang mereka lakukan lebih mengerikan dari harapan Ibu. Mereka menebas kepalamu tepat di depanku. Bagaimana mungkin aku belum paham? Bagaimana mungkin aku diam, Ibu?
“Ibu … jangan sakiti ibuku. Jangan ….” Aku keluar dan memeluk tubuhmu. Melihat sepasang netra yang terbuka lebar yang menyuarakan perjuangan masih berlanjut. Aku paham Ibu, liontin ini harus tetap menjadi hello kitty yang lucu. Tapi kali ini aku tak peduli. Biarkan aku menjadi anak kecil seperti dalam benakmu. Aku menangis. meraung sekuatku. Serdadu itu mematung. Matanya menatapku iba seketika. Aku meraung menghardik semesta. Pilu terlunta yang tiada tara. Air mata ini sungguh menyiksa, Bu ….
Lalu, sepasang langkah mendekat lincah. Memeriksa seketika dan tersenyum sungging.
“Bawa mayatnya. Kita akan mengautopsi hingga bagian dalamnya. Siapa tahu chip itu di sana.” Ia berlalu sambil melihatku sejenak. Tersenyum cemoh.
“Siap, Letnan. Perintah dilaksanakan.”
Aku tahu siapa pimpinan mereka, Ibu. Aku tahu mereka manusia-manusia yang memandang kekayaan adalah sebuah harga mati untuk dapat bertahan dalam garis-garis wibawa yang layak jadi panutan. Mereka manusia-manusia lupa diri. Aku melihat mereka dari balik kamar berjerejak ini merundingkan untuk mengobrak-abrik tubuhmu. Aku menangis. Memelas untuk mencegah, tetapi tentu saja bukan dengan mengatakan chip-nya jauh di dasar bumi dan kuncinya ada pada hello kitty di leherku, bukan? Aku paham. Negara kita bisa tergadai, Ibu.
Sore ini, mereka mengantar kita pulang. Ke rumah yang sepertinya sudah diperiksa tiap sentinya. Mereka melapor dengan santun kepada polisi. Skenario lain yang entah muncul dari film mana yang jelas mereka meninggalkan berderet papan bunga dan peti berlapis emas untuk Ibu. Aku kelu. Mulutku terbungkam diam. Bukan karena aku takut. Bukan! Tetapi karena ini begitu di luar nalarku, Bu. Aku paham. Kaum separatis bermuka seribu.
Di sini, aku duduk meratap lemah di tepian petimu. Tanpa orang-orang Ayah yang biasanya setia mengawal. Ke manakah mereka, Ibu?
Apakah mereka berpaling saat tahu mempertahankan sebuah cinta tanah air harus menggadaikan nyawa? Apakah mereka tahu Ayah sudah mati lalu berpaling melupakan anak istrinya yang biasa mereka kawal? Atau kemungkinan ketiga, mereka menyapu bersih orang-orang Ayah tanpa tersisa? Aku lebih memilih kemungkinan ketiga.
Ayah, mengapa kamu tidak meninggalkan sebuah wasiat untukku agar aku bisa menghentikan mereka? Agar aku bisa meneruskan perjuanganmu ….
***
Di sini aku dan kamu sama-sama terbujur kaku. Malam ini kian pekat. Kian terik.
“Tertawalah, anakku … ayo, tertawalah. Jangan bersedih.”
Aku menatap wajahmu yang tak kalah kaku dari tubuhku. Tertawa? Lucu sekali, adakah yang bisa membuatku tertawa setelah kepergianmu dan Ayah? Menjadi sebatang kara dan aku tidak tahu apa gerangan yang akan datang esok.
“Katakan satu saja alasanku untuk tertawa ... satu saja. Satu kata pun tidak apa-apa. Kamu tidak punya, bukan?”
Tidak! Kamu tidak punya! Kamu egois sekali ....
Sekali, kita berlarian kecil di pinggiran Pantai Kuta. Merasakan bebasnya menari dan dunia seolah milik berdua. Aku yakin, kala itu. Yah! Tentang cerita pahit yang kausisipkan dalam lebar tawamu, cerahnya harapan yang kaukobarkan dan mimpi yang kausemai. Lalu, merekah dan berakar kokoh hingga aku tahu bagaimana rasanya karang di tepian Kuta itu bertarung mengalahkan ombak. Riakan air yang menambah ketegaran dan rasa mawasku. Pada dunia yang kau katakan bagai sarang serigala. Aku patuh. Menuruti segala rambu yang menjadi titian jiwaku. Tanpa Ayah, kau berusaha membuat tubuhmu memiliki dua raga—ayah dan ibu untukku.
Ah, itu hanya cerita lama! Tinggal kenangan yang akan memenjarakanku dalam sepi. Kosong. Hampa dan mati! Apakah kita sama-sama mati? Kau egois! Aku tahu, aku tak sungguh-sungguh mati. Buktinya aku meratapimu kini. Kau egois!
Kejam!
Kejam sekali!
Tunggu, tunggu dulu. Mereka terlalu kejam, tetapi mengapa Ibu sama saja. Mengapa tidak membawaku bersamamu, Bu? Kini, aku meratapi yang tak akan pernah bisa mengubah apapun. Pun kepulanganmu, dan kepergianmu serta semua luka-lukaku.
Namun, tangis sepertinya satu-satunya jalan untukku menyaksikan parade pemberangkatan ini, dan kau masih terbujur. Aku kian larut dalam tangis. Dunia membiru pekat. Angin seolah berhenti dan berkumpul di barat daya. Sesak tiada berujung namun tak jua membunuhku.
***
“Marrimar! Mari bangun dan kita pergi dari sini ...,” ucapmu dan bisikan lembut itu menyelinap menghasilkan stimulus-respon yang koheren. Aku terbangun bagai dikomando. Menggeliat tanpa suara.
“Mari, Bu!” Aku mengikutimu sambil menjinjing tas yang kau katakan tidak akan membuat kita kesulitan di mana pun.
“Mari! Kita ke arah pantai. Di sana ramai. Dia akan sulit menemukan kita. Sementara waktu, kita harus sembunyi!” Kau mengingatkan dengan penuh mawas diri. Elang siaga yang tidak pernah gentar.
“Kita akan menginap!” serumu sambil menuntun langkahku setelah semalaman bermain dengan keramaian dan aroma kebebasan begitu liar dan merdeka membuai kita. Tanpa cerita aneh itu.
Sekali, menjadi genius tidaklah menguntungkan, Mar! Ucapmu kala itu. Kita kehilangan ayahmu. Dia diburu, bahkan hingga setelah hanya jasad. Ia memiliki rahasia yang mengancam mereka. Para koruptor, petisi yang punya jalur berliku dan tersembunyi. Seketika kau terdiam. Sebuah lobang berwarna violet memutar dan sebuah benda kecil mencuat tepat di hadapan kita.
“Please enter your hologram.”
Kau terdiam. Ada sesak yang terlintas di wajahmu yang masih sangat menawan.
Lalu sebuah benda kecil berwarna hitam menyembul di antara sebuah papan penyangga.
“Enter the last coding!”
“Kau menatapku dan mengucapkan kata, “I love you, Marrimar”.”
Chip itu terlepas. Kau mengambilnya dan sekarang ada pada leherku. Menjadi rahasia di balik mainan kalungku. Hello kitty dengan bola dunianya.
Kini, kau terbujur kaku. Sebentar lagi aku beserta warga akan mengantarkanmu ke tempat peristirahatanmu. Bukannya aku tak mengerti tentang korelasi kehidupan dan kematian, cinta perpisahan dan air mata, rasa sakit dan perpisahan, kesunyian dan kehilangan. Namun aku masih merasa seperti anak kecil yang harus dituntun. Aku seolah hilang arah. Aku lemah, Ibu ... aku sepi dalam keramaian ini. Isakku akankah kering usai aku tak memandang wajahmu lagi?
Lalu, parade peringatan malam tahun baru itu tiba-tiba lebih gemuruh. Riuh! Sirene membahana, sama seperti malam penangkapan kita. Kau tetap tenang. Kita kini adalah cahaya dari kilatan malam-malam. Melesat cepat dan kau membuatnya dalam dendang dan tawa bahagia seolah kita sedang tamasya tanpa sirene. Tanpa chip itu.
“Dicari! Seorang wanita cacat di bagian wajahnya dan seorang putrinya yang berumur kurang lebih 15 tahun! Membawa koper biru tua dan bagi siapa yang menemukan akan diberikan hadiah yang jumlahnya sangat besar!” Sirene itu menyusup jauh ke telinga orang-orang. Kau masih tetap tenang! Koper itu sudah kita tanam jauh di dalam perut bumi.
Ini punya ayahmu, dan semua orang akan mencarinya! Kita harus menyimpannya! Ucapmu malam itu sambil terus menggali dengan tenagamu yang luar biasa.
Aku heran. Ibu bisa kuat bagaikan sepuluh lelaki pada umumnya, ucapku padamu. Kita terlahir untuk melayani negeri dalam tangan-tangan tersembunyi. Kematian ayahmu hanyalah demi chip ini. Demi merah-putih yang tetap berkibar teguh. Setelah kedalaman 15 meter kita membuka koper itu pelan-pelan. Lubang berdiameter 2 meteran itu bagaikan sebuah bilik bawah tanah. Aku adalah pulm. Manis dan sempurna. Tiada tanya berlebih. Hanya menurut penuh penghayatan. Tapi aku tahu ini seharga hidup kita.
Kau memeluk koper itu seketika. Menciumi dengan kerinduan seolah bibirmu menyentuh jiwa Ayah.
Kau menyentuh telingamu. Mengeluarkan sebuah benda kecil dari balik daun telingamu dan menusukkannya dengan pelan ke lubang-lubang rahasia di koper biru pekat itu. Mengacak nomor dan sebuah cahaya merah mencuat dari sisi koper.
“Enter your coding hand!”
Sebuah layar di tepian koper memintamu tanpa kompromi. Tidak tahu kita berburu dengan waktu. Kau menarik tanganku. Meletakkannya dengan sempurna di atas koper dan layar itu menghilang.
“Ayahmu pasti bahagia sekarang, Mar! Kau sudah cukup dewasa untuk memahami ini!” Kau bercerita sambil terus mengoperasikan koper itu. Sebuah hentakan kecil membukanya dengan sempurna. Chip itu adalah kode-kode tersimpan pada layar di dalam koper. Kau memutarnya.
“Enter your coding face!”
Lagi-lagi ia meminta kunci masuk. Kau melepas wigmu. Melepaskan hidung, dan wajah dempulan sempurnamu. Ibuku muncul di wajahmu. Aku melonjak girang, tetapi hanya dalam benakku saja. Aku tetap diam tak bergeming. Kau menghadap koper tepat vertikal. Mejamkan mata.
“Wellcome Miss Marriott de Lauferme! This is your chip room meeting. Please checkin and enjoy! Be carefull you may be lost your coding by taking out your chip.”
“Second opinion!” Kau berbicara padanya.
“With pleasure!” Ia bagaikan serdadu siap mengikuti perintahmu. Aku masih diam dan merasakan Ayah menyatu dalam koper yang kini diinginkan seluruh penguasa.
Kini aku mengulang kejadian itu. Seluruh mata memusatkan fokus padaku. Rapat kongres di Istana Negara ini akan membuka wahana baru, Ayah bukan separatis dan penemuan ini bukan virus yang bisa merebak dalam seketika. Ini sebuah zat anti virus yang mampu menyelamatkan bangsa kita dari Covit 17. Degdegan seketika saat benda itu berbunyi: “Enter your coding face.”
Akankah wajahmu bisa digantikan wajahku, Bu? Seketika dadaku sesak. Dan, akses diterima. Semua mata tertuju padaku. Melepaskan senyuman. Harapan-harapan baru bermekaran.
Ayah … Ibu, aku siap menantang dunia. Aku memahami, kepergian kalian menuju keabadian bukanlah akhir dari cerita cinta kasihmu. Sekali, aku salah dengan mempertanyakan wasiatmu. Kini, aku paham bahwa kalian memberi semuanya melebihi sempurna untuk seorang anak. Esoknya, surat kabar memuat liputan penangkapan pembunuh Ayah dan Ibu. Aku menangis menatap langit. Berusaha memeluk. Aku merindu sama seperti kalian ….
***
Erlina Anriani Siahaan, wanita 33 tahun yang berprofesi sebagai seorang ASN dan menjadi orangtua tunggal atas tiga orang anak yang luar biasa. Penulis A Mural for Rain (Maret 2020) ini juga sudah menulis puluhan antologi. Aktif mengikuti kepenulisan dan dapat dihubungi di facebook: Erlina Siahaan, instagram: erlina_siahaan16, blog: erlinasiahaan.blogspot.com
Omg,dini hari dapat kabar dimuat itu sesuatu. Semangat berkarya. Lov u ODOP.😍😋
BalasHapusSelamat Kak Erlina 😍 kereeeennn
BalasHapusMksh Nio yang jauh lebih keren. Kk ngefans lohh hehe
BalasHapusKeren ceritanya. Super duper!
BalasHapusMksh suhu🙏
BalasHapus