Oleh: Achmad Ikhtiar
“Bagaimana, Nak? Sudah kamu putuskan?” tanya lelaki itu. Lelaki yang baru saja kutemui beberapa menit yang lalu. Lelaki asing yang ramah, dengan jas berwarna coklat usang yang kedodoran dipadu dengan topi koboi tinggi.
Aku hanya menggeleng sambil terus memperhatikan ujung jempol kakiku yang nakal menerobos sepatu kanvas tua yang sudah kekecilan ini.
Lelaki—yang kutaksir tingginya lebih dari seratus sembilan puluh senti—itu berjongkok, matanya lekat menatap mataku. Tatapan mata yang hampa, bukan, tapi lebih mendekati tatapan yang memiliki makna tak terbatas. Tatapan hangat, ada sedikit terselip kelicikan dan juga tatapan selidik yang ditingkahi tatapan seorang ayah saat menatap anaknya yang tidak naik kelas.
“Kalau kamu sudah memutuskan, aku menunggumu di sana,” katanya sambil menunjuk ke arah cakrawala. Matahari yang kemerahan malu-malu hendak terbenam.
Lelaki itu berdiri lalu mulai berjalan, dengan langkahnya yang besar-besar. Tidak berapa lama, dia sudah jauh meninggalkanku. Hanya siluetnya yang kini tampak jelas, noktah hitam pada cakrawala yang kemerahan.
Aku ragu, akan melangkah maju atau kembali ke belakang. Tak ada peta, tak ada petunjuk jalan. Di kiri kanan hanya ada padang rumput sejauh mata memandang. Di depan dan belakang, jalanan lurus membentang, sempurna tanpa kelok, sampai cakrawala.
Tak ada angin, tak ada suara kumbang. Hanya keheningan yang panjang dan dalam. Kadang keheningan seperti ini juga membuat perasaan tidak nyaman bahkan bikin sakit pendengaran.
Kuperhatikan lagi ujung jempol kakiku, pada kuku yang mengilat terpantul wajah para sahabat, kekasih dan orang-orang yang pernah masuk lalu pergi lagi dalam hidupku.
Apa kabar mereka semua sekarang? Apa mereka sudah menikah, beranak, mencicil rumah dan mobil? Atau mungkin mereka sudah jadi buruh migran? Memeras keringat dan menekuk tulang di tanah asing?
Satu wajah membias. Arman. Teman sebangku waktu SMP dulu. Anak yang jenius dan pendiam. Dengar-dengar sekarang sudah jadi orang penting di pemerintahan. Muncul wajah lagi, seorang sahabat waktu SMA. Juniarto. Jago basket dan sangat bercita-cita jadi atlet, ada selentingan kabar sekarang sudah jadi bandar narkoba.Takdir memang sulit ditebak.
Satu persatu wajah-wajah itu mulai semakin jelas nampak dan di kepalaku tercetus kenangan-kenangan yang pernah hadir. Dadaku gemuruh, emosi bercampur baur dalam waktu bersamaan. Aku tertawa sambil menangis, mengerutkan kening sambil menunduk malu. Perasaan-perasaan itu tiba-tiba saja meluap tanpa bisa aku bendung.
Puncaknya, aku roboh karena tidak kuat menahan ledakan emosi yang bertubi-tubi. Rasa senang, marah, sedih, malu, bersalah, dan menyesal berganti-gantian hadir.
“Nak.” Tiba-tiba aku mendengar suara yang aku hapal betul. Suara yang sudah bertahun-tahun aku rindukan. Suara yang selalu membuatku nyaman. Suara Ibu.
Ada perasaan sejuk menjalar saat sesuatu menyentuh ubun-ubunku. Aku tengadah, mata memicing, mencoba memastikan wajah yang berderang menyilaukan.
“Ibu,” kataku lirih.
Wajah itu tersenyum.
Aku lekas-lekas bangun dan hendak mencium tangannya, tapi lagi-lagi aku roboh dan memeluk kakinya. Aku menangis sesegukan.
Sesuatu itu kembali membelai lembut kepalaku, hawa sejuk dan nyaman itu kembali menjalari seluruh tubuh. Aku ingin terus seperti ini, selamanya seperti ini. Aku ingin berada dalam pelukan Ibu.
Air mataku tambah deras mengalir. Puncaknya tiba-tiba semua menjadi gelap. Aku pingsan.
Saat sadar, aku sudah ada dalam ruangan putih pucat yang berbau karbol. Aku ada di rumah sakit. Dengan selang yang berseliweran menembus tubuhku.
Seorang perawat yang kebetulan ada di dekatku lekas-lekas mengecek keadaanku, memutar-mutar knob, menyentil-nyentil selang atau apalah yang aku tidak tahu lalu mencatat sesuatu pada kertas yang di bawanya. Setelah itu pergi ke luar.
Aku yang masih syok dengan pengalaman barusan hanya bisa pasrah berbaring sambil menatap langit-langit ruangan. Mulut terasa kering dan seluruh sendi ngilu. Wajah Ibu kembali terbayang-bayang. Ada perasaan rindu yang tiba-tiba meluap. Aku ingin bertemu Ibu.
Semakin lekat aku tatap langit-langit kamar lama-lama warna putih pucat itu semakin buram.
“Bagaimana, Nak? Sudah kamu putuskan?” tanya lelaki itu sekali lagi. Aku tersenyum kecut lalu mengangguk pelan.
Dia lalu menggenggam tanganku. Jari-jarinya terasa dingin. Kami berjalan beriringan menuju cakrawala. Menuju matahari yang kemerahan.
Aku menengok ke belakang, melihat bayangaku yang bergerak bergoyang-goyang. Sementara lelaki di sampingku itu tidak memiliki bayangan.
Dia Izrail.
Dari bernostalgia ke kematian. Mantap, Uncle!
BalasHapusAku sampai nangis bacanya. Uncle selalu keren.
BalasHapus