Oleh: Arinal Haq
Malamku seperti malam-malam yang lalu. Mendekap kesendirian dalam tangis sendu. Aku belajar dari bulan yang meski dia sendiri tetap memancarkan cahaya kebahagiaan. Tidak, bulan tidak sendiri. Lihat bintang-bintang (kecil) di sekelilingnya. Bukankah mereka teman bercengkrama yang menyenangkan, berdiskusi fenomena apa selanjutnya yang akan Tuhan turunkan di semesta. Dan bukankah aku juga tidak sendiri. Banyak orang di sekelilingku, namun aku menatap kecut. Masih adakah kisah kasih yang tanpa pamrih selain dari dua manusia yang membuatnya terlahir nyata di dunia.
Hai malam. Seperti malam-malam sebelumnya telanlah aku dalam pekatmu. Hingga pandanganku gelap meski terjaga. Dengan begitu aku bisa beristirahat meski sekejap.
***
Tempat ini tak pernah kuketahui sebelumnya. Taman-taman yang indah, beriak air sungai yang memesona. Saat terkena sinar, dia akan memantulkan cahaya keemasan. Lihatlah, burung pipit berputar ke sana kemari. Harusnya sekarang musim kemarau, mengapa banyak kupu-kupu beterbangan? Dan kakiku. Ah, begitu tak teganya aku menginjak rumput lembut nan hijau ini.
Ibu, dia ibu. Aku yakin. Meski badannya sudah lebih berisi dan kulit wajahnya yang seputih susu aku masih mengenali wajah itu. Wajah yang sejak 24 tahun lalu muncul pertama saat aku membuka mata. Mengajakku menatap dunia yang katanya penuh kejutan istimewa. Dan ternyata lama kelamaan aku juga tahu kalau dunia tidak hanya menawarkan bahagia, luka pun tersaji di sana.
Iya, itu ibuku. Mataku tidak mungkin salah. Tapi kenapa dia menjauh? Mau ke manakah Ibu? Kenapa tidak mebawaku ikut serta?
“Ibu…,” teriakku tapi dia tak mendengar.
Kemudian sekelilingku mulai berjelaga. Gelap. Hitam. Ada sebuah energi kuat yang menarikku berputar-putar masuk. Entah ke mana. Kemudian ketika rotasi angin mulai reda, badanku terduduk di halaman depan rumah.
Ke mana keindahan taman tadi? Mengapa hanya ada asap berjelaga dari sampah yang Ibu bakar? Bukankah tadi wajah Ibu bersih cemerlang mengapa sekarang jadi lusuh dan kumal?
“Karina, kemarilah.” Sambil tetap memegang sapu lidi dengan setengah membungkuk perintahnya melayang padaku tentu saja. Masih dengan tanda tanya yang yang belum terjawab.
“Ibu akan tunjukkan 4 hal yang akan membuatmu bertahan hidup di dunia ini.” Aneh, tidak seperti biasanya Ibu berkata seserius ini. Dan memang biasanya Ibu memang irit bicara.
“Ibu hanya akan memberikan ilmu ini selama satu hari. Setelah itu terserah kamu mau menuruti atau tidak.” Jelas gelagat ini bukan Ibu. Dulu menemani aku belajar pun tak pernah, mengapa sekarang bilang akan memberikan ilmu. Tapi kalau bukan Ibu siapa lagi? Berkaca ke kolam ikan yang sudah keruh, ternyata wajah kami hampir sama. Itu artinya dia memang benar ibuku.
Sambil menepuk pundakku penjelasan Ibu berlanjut. “Kalau kamu melakukan 4 hal ini setiap hari, kamu akan hidup tenang di dunia.”
Aku juga tidak terlalu ingat apa yang terjadi setelahnya. Tapi tiba-tiba aku sudah berada di kamar yang serupa dengan kapal pecah. Dua kloter tumpukan baju yang sudah dicuci menempati sisi kanan ranjang yang mepet dengan dinding. Di bagian kirinya tas-tasku yang tergeletak tak berdaya. Kemudian di bagian atas−karena kebetulan di sana ada bantal−anggap saja itu bagian kepala ada buku, kertas, dan bolpen berserak. Menurut para trainer, kalau kita ingin berubah maka dekatkanlah hal itu dengan kita. Begitulah nasib buku-buku yang kebetulan jadi pasien uji coba tapi belum menunjukkan tanda-tanda keberhasilan. Ah, lupakan. Itu cuma teori basi.
Ibu mengangsurkan penebah lidi ke arahku sambil terus menyampaikan wejangannya. Dan entah mengapa aku sama sekali tidak berkesempatan untuk menjawab pertanyaan maupun pernyataannya. “Jiwa yang baik berasal dari tempat tinggal yang baik, paham? Bersihkan tempat tidurmu sekarang.”
“Begitulah seharusnya kamu memulai hari. Bersihkan yang terdekat denganmu, maka kamu akan bisa menyelesaikan urusan di luar sana.”
“Jangan harap masalahmu selesai sedang kamarmu saja kau tinggal berantakan.”
***
Sekarang aku sudah berada di meja makan. Aku tidak berpikir makanan ini enak atau tidak. Lidahku seperti tidak mengecap apa-apa. Kecuali penjelasan Ibu yang kudengar sejak pertama kali tangan menyuap ke dalam mulut.
“Yang sebenarnya rezekimu adalah apa yang kamu makan, apa yang kamu pakai. Uang di dompet atau di tabungan itu belum tentu milikmu. Mungkin saja itu rezeki milik penjual baju yang sangat kamu impikan lantaran sebentar lagi Ramadan datang.”
“Jangan sampai ada yang tersisa di piringmu. Setengah butir pun jangan. Karena jika kamu tinggalkan, butir itu akan mendoakanmu sebagai orang mubadzir terhadap makanan. Dan dari setiap butir itu ada yang mengandung berkah sedang kamu tak tahu butir yang mana.”
Kuturuti saja dan piringku sangat bersih. Aku pun menyeruput jangan bening (sayur berkuah bening) yang masih mengambang di piring setelah mendengar apa kata Ibu.
“Nak, meskipun makananmu sederhana, syukuri. Di luar sana bahkan ada yang sampai sehari tak makan. Dan bukankah kamu juga mengalaminya sendiri ketika tidak ada Ibu?”
Beratapkan pohon kedondong yang menaungi kami dari sengatan matahari pagi, aku telah berada di belakang rumah sambil menemani Ibu menganyam tikar dari pohon siwalan. Aroma ikan kering dari rumah tetangga menyelinap bersama angin. Ah, jadi lapar lagi.
“Nak, belajarlah yang rajin dan bersungguh-sungguh agar kelak mulia kehidupanmu. Tapi ingat, setelah kamu dapat ilmu jangan tinggalkan akhlak. Sepintar apapun kamu, itu tidak akan bernilai jika kamu tak punya akhlak kepada orang lain.”
Tanganku masih menganyam helai demi helai tikar ini. Kulihat tangannya yang gelap dan kasar sementara tanganku putih bersih dan lembut. Apa-apaan ini. Aku bersenang-senang di atas derita orang tuaku. Apakah aku anak yang tidak berbakti?
“Tidak, Nak. Baktimu padaku adalah kamu belajar yang dengan sungguh-sungguh. Carilah ilmu sebanyak-banyaknya. Kamu tahu, kan, salah satu pahala yang terus mengalir kepada manusia meski telah meninggal dunia adalah doa anak shalih kepada kedua orang tuanya. Kami hanya butuh itu, Nak. Dengan kamu berilmu akan membahagiakan kedua orang tuamu ini.”
Air mataku menggenang di pelupuk mata. Benarkah ini nyata?
“Cukup Bapak dan Ibu yang bernasib seperti ini. Dan kamu jangan sampai seperti kami. Karena kamu adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan di akhirat nanti.”
Air mataku akhirnya tumpah. Sebegitu besarkah tanggungan yang dihadapi orang tuaku ketika membesarkan anak tidak tahu diri ini? Maka benarlah jika orang mengatakan, cinta orang tua kepada anak sepanjang jalan, cinta anak kepada orang tua sepanjang galah. Bahwa cita-cita mereka adalah kesuksesanku, sementara apa cita-citaku selain membahagiakan diri sendiri?
Matahari mulai turun. Menyisakan semburat jingga dari barat sana. Aku, Kak Seto, Ibu, sudah berada di angkringan bambu yang bertransormasi menjadi musala.
“Karina, sesibuk apapun kamu dalam urusan dunia, jangan pernah lupakan Qur'an. Bacalah walaupun selembar sehari. Karena yang menjagamu kelak ketika mati bukan asuransi keselamatan yang kamu tabung setiap bulan. Sedih bahagia, selalu bawa Al-Qur'an-mu.”
Lagi-lagi aku tak bisa berkata-kata. Aku hanya menunduk diam dan mendengarkan. Sementara Kak Seto dan Bapak entah sudah ke mana.
“Rumah yang damai adalah rumah yang penghuninya selalu membaca Al-Qur'an.” Kali ini dengan disertai senyuman yang sangat manis. Dan tahukah kamu, wajah ini adalah wajah yang pertama kutemukan tadi. Padahal aku tidak melihat Ibu menggunakan skincare apapun, kemana flek-flek hitam yang sejak berapa tahun terakhir menempel di wajahnya? Lalu Ibu mengulurkan tangan, betapa lembut tangan itu. Aku meraihnya dan menyalami penuh takzim. Satu tangannya lagi mengelus bahuku perlahan dengan penuh kasih sayang. Air mataku pun tak bisa membendung haru.
***
“Setelah itu aku tidak ingat apa-apa lagi, Paman.” Terangku pada sosok yang sudah kuanggap sebagai pengganti orang tua.
“Hanya seperti itu? Tidak ada bicara tentang pembagian harta waris atau piutang di orang, Karina?”
“Entalah, Paman. Yang kuingat dari mimpiku hanya seperti itu.” Berhari-hari coba kuingat mimpi saat bertemu Ibu. Namun kepingan memori itu hanya saat-saat Ibu memberi nasihat kepadaku. Ah, Ibu. Padahal sejak dulu aku membandingkan Ibu dengan ibu-ibu lain yang dekat dengan anaknya, ibu yang pengertian, ibu yang modern.
“Berarti wasiat yang ibumu maksud hanya berisi nasihat-nasihat itu. Sebelum ibumu tiada, dia mengatakan sudah memberi wasiat padamu.”
Terdengar desahan dari ujung sana. Entah rasa lega, heran, atau apa. Begitu pun aku. Namun satu kata yang mendominasi, aku menyesal tidak mencintai Ibu sepenuh hati.
“Lalu kapan kamu akan pulang ke Indonesia untuk menjenguk pusara ibumu?”
***
Masih seperti malam-malam yang lalu. Menyulam kenangan dihiasi tangis sendu. Dekaplah aku wahai malam. Semoga esok aku kuat menjalani kedupan ini. Di atas kasur busa yang sudah tipis, dengan selimut bunga-bunga yang tak lagi halus. Biasanya setiap aku pulang semesteran, Ibu selalu mengingatkanku agar tidak tidur terlalu malam. Atau Ibu akan menanyakan aku ingin makan apa walaupun aku tahu uangnya tak seberapa. Kenapa baru sekarang aku sadar ibuku sangat perhatian? Tentu perhatian yang berbeda dari orang kebanyakan.
“Bu, malam ini aku bermalam di rumahmu.”
***
Arinal Haq, mahasiswa biologi yang juga menyukai literasi. Warga baru di ODOP batch 8. Domisili saat ini di Jember, Jawa Timur.
tulisan keren dan menjadi tulisan pilihanku pada tantangan pekan ke-8 batch 10
BalasHapus